Jumat, 10 April 2009

PKM-GT IMAM WAHYUDIN


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di daerah yang memiliki iklim tropis, termasuk salah satunya di Indodesia. Perkebunan tebu di Indonesia tersebar di Medan, Lampung, Jawa dan Makasar, dengan luas area sekitar 232.000 hektar. Tebu-tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik-pabrik gula. Selama proses produksi, gula yang termanfaatkan hanyalah 5%, ampas tebu yang dihasilkan sebesar 90% dari setiap tebu yang diproses, sedangkan sisanya berupa tetes tebu (molase) dan air (teknik_kimia.blogspot:2007-07-01). Musim giling 2006 lalu, diperoleh data dari IKGI (Ikatan Ahli Gula Indonesia) bahwa jumlah ampas tebu yang dihasilkan oleh 57 pabrik gula di Indonesia sekitar 9.640.000 ton (Anonim,2007b). sebanyak 60% ampas tebu tersebut dimanfaatkan sebagai bahan boiler di pabrik gula, bahan baku kertas, pupuk, pulp dan asbes, tetapi nilai ekonomi yang diperoleh belum tinggi. Jadi, sekitar 45% dari ampas tebu tersebut belum dimanfaatkan (Husin, 2007). Maka, diperlukan pengembangan teknologi diversifikasi pemanfaatan ampas tebu yang berpotensi sebagai bahan bakar penghasil energi,.

Indonesia juga memiliki lahan peternakan yang cukup luas. Beberapa hewan ternak yang dihasilkan diantaranya sapi, kambing, kerbau, kuda, yang merupakan hewan ruminansia. Pemanfaatan hewan ternak diantaranya dikonsumsi susu dan dagingnya, sedangkan kulitnya untuk hiasan. Daging organ dalam (jerohan) termasuk lambung, seharusnya dibuang dan tidak dikonsumsi karena dapat menyebabkan penyakit asam urat. Hewan ruminansia memiliki 4 ruang lambung dalam sistem pencernaannya yaitu retikulum, rumen, omasum dan abomasum. Rumen merupakan lambung yang paling besar (perut besar) yang didalamnya hidup bermilyar-miliyar mikroba penghasil selulose. Selulose merupakan enzim pengurai selulosa yang terdapat dalam rumput atau daun-daunan yang dimakan hewan ruminansia. Selulosa merupakan karbohidrat pembentuk dinding sel tumbuhan, yang sebenarnya tidak dapat dicerna oleh pencernaan ruminansia tanpa adanya mikroba dalam rumen. Mikroba-mikroba tersebut menghasilkan selulose untuk melakukan fermentasi selulosa secara anaerob dalam rumen, sehingga mengubah sululosa menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan untuk mengahasilkan energi.

Sebuah percobaan yang dilakukan oleh Rismani, Yazdi, peneliti di Ohio State University pada Februari 2008 lalu, yaitu memasukan cairan mikroba dari rumen sapi yang diberi sampah organik ke dalam ruang baterai tertutup, menunjukkan bahwa ketika mikroba mengurai selulosa, dihasilkan energi yang menyebabkan baterai menjadi bermuatan listrik. Percobaan ini belum dilanjutkan sampai sekarang, sehingga belum diketahui bagaimana mekanisme penghasilan energi oleh mikroba rumen sapi melalui fermentasi selulosa (http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam penulisan karya tulis ini akan dibahas tentang “ Pemanfaatan Mikroba Rumen Ruminansia dan Ampas Tebu (Sugar cane Bagasse) sebagai Sumber Energi Alternatif Masa Depan “. Karya tulis ini juga didasarkan pada fenomena krisis energi listrik yang terjadi di Indonesia saat ini sehingga sering terjadi pemadaman bergilir di berbagai wilayah di Indonesia yang sangat meresahkan warga masyarakat. Selain itu, banyak daerah terpencil yang belum bisa menikmati listrik dikarenakan terbatasnya sumber Energi Listrik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam karya tulis ini ialah:

  1. Kandungan ampas tebu (Sugar Cane Bagasse) apa yang berpotensi sebagai sumber energi alternatif?
  2. Jenis mikroba apa yang terdapat dalam rumen ruminansia yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sumber enrgi alternatif?
  3. Bagaimanakah mekanisme pemanfaatan mikroba rumen ruminansia dan ampas tebu (Sugar Cane Bagasse) sebagai sumber energi alternatif masa depan?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini ialah:

  1. Mengetahui kandungan ampas tebu (Sugar Cane Bagasse) yang berpotensi sebagai sumber energi alternatif.
  2. Mengetahui jenis mikroba yang terdapat dalam rumen ruminansia yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sumber energi alternatif.
  3. Mengetahui mekanisme pemanfaatan mikroba rumen ruminansia dan ampas tebu (Sugar Cane Bagasse) sebagai sumber energi alternatif masa depan.

D. Manfaat Penulisan

1. Memberikan informasi kepada pengusaha pabrik gula tentang pengembangan teknologi diversifikasi pemanfaatan ampas tebu yang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai sumber energi.

2. Memberikan informasi kepada peternak hewan ruminansia tentang pemanfaatan rumen ruminansia yang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai sumber energi.

3. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pemanfaatan mikroba rumen ruminansia dan ampas tebu (Sugar Cane Bagasse) sebagai sumber energi alternatif masa depan.


BAB II

TELAAH PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tebu

  1. Klasifikasi Tebu

Tebu ialah jenis rumput-rumputan, termasuk kelas Monocotyledonae, ordo Glumiflorae, keluarga Gramineae dengan nama ilmiah Saccharum officinarum L. Menurut Jeswiet (1925), terdapat lima spesies tebu, yaitu Saccharum spontaneum (glagah), Saccharum sinensis (tebu Cina), Saccharum barberry (tebu India), Saccharum robustum (tebu Irian) dan Saccharum officinarum (tebu kunyah) (Sastrowijoyo, 1998).

  1. Deskripsi Tebu

Tebu (Saccharum officinarum) ialah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula, dan hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Umur tebu sejak ditanam sampai bisa dipanen kurang lebih 1 tahun. Beberapa kondisi lingkungan yang diperlukan untuk mendukung perkembangan tanaman tebu antara lain :

a. Berada pada daerah tropis yang basah (350LS dan 390LU), dengan topografi 0 – 1400 mdpl.

b. Curah hujan 200 mm/bulan pada 5-6 bulan berturut-turut, 125 mm/bulan pada 2 bulan transisi dan kurang 75 mm/bulan pada 4-5 bulan berturut-turut.

c.

4

Kecepatan angin kurang dari 10 km/jam.

d. Suhu udara 24-30 oC, dengan rentang suhu siang dan malam tidak lebih dari 10 oC.

e. Bentuk areal datar hingga berombak dengan kemiringan lereng kurang dari 2 %.

f. Kedalaman jeluk efektif minimal 50 cm.

g. Tekstur tanah sedang sampai berat atau menurut klasifikasi tekstur tanah (Buckman and Brady, 1960) ialah lempung, lempung berpasir, lempung berdebu, liat berpasir, liat berlempung, liat berdebu dan liat atau yang tergolong bertekstur agak kasar sampai halus.

h. pH tanah optimal pada 6-7.

i. Status hara bagi tanaman tebu dengan kriteria N total > 1,5; P2O5 tersedia > 75 ppm; K2O tersedia > 150 ppm dan kejenuhan Al <>


  1. Morfologi Tebu

Sifat morfologi tebu diantaranya bentuk batang konis, susunan antar ruas berbuku, dengan penampang melintang agak pipih, warna batang hijau kekuningan, batang memiliki lapisan lilin tipis, bentuk buku ruas konis terbalik dengan 3-4 baris mata akar, warna daun hijau kekuningan, lebar daun 4-6 cm, daun melengkung kurang dari ½ panjang daun.

  1. Daerah Tumbuh

Asal tebu diduga dari Papua yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara dan India sekitar 1000-1200 tahun SM. Mesir mengenal tebu pada tahun 647 M, seabad kemudian barulah Spanyol mengintroduksi tebu. Pada abad ke-17, tebu diperkenalkan di “Dunia Baru”, yaitu benua Amerika, tepatnya di Lousiana. Total area perkebunan tebu di dunia saat ini mencapai luas sekitar 20 juta hektar. Peringkat pertama ditempati oleh Brazil, lalu India dan yang ketiga ialah Cina. Indonesia menempati urutan ke-11 dalam luas lahan tebu. Produktifitas terbaik dipegang oleh Australia dengan hasil tebu per hektar mencapai 85 ton/ha, diikuti oleh Kolombia 84 ton/ha, lalu Amerika 77 ton/ha. Indonesia pernah dikenal sebagai pengekspor gula no.1 di dunia tahun 1930-an, yang dapat memproduksi 1 juta ton gula (http://ciciarendy.multiply.com/journal/item/6/ Tebu).


  1. Ampas Tebu

Ampas tebu (gambar 2.2.) ialah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Pada musim giling 2006 lalu, data yang diperoleh dari Ikatan Ahli Gula Indonesia (IKAGI) menunjukkan bahwa jumlah tebu yang digiling oleh 57 pabrik gula di Indonesia mencapai sekitar 30 juta ton (Anonim, 2007b), sehingga ampas tebu yang dihasilkan diperkirakan mencapai 9.640.000 ton.

Namun, sebanyak 60% dari ampas tebu tersebut dimanfaatkan oleh pabrik gula sebagai bahan baker boiler (mesin pemanas) di pabrik, bahan baku untuk kertas, particleboard, fibreboard, bahan baku industri kanvas rem, industri jamur dan lain-lain. Diperkirakan sebanyak 45 % dari ampas tebu belum dimanfaatkan (Husin, 2007). Padahal ampas tebu memiliki berbagai kandungan yang potensial untuk industri (Tabel 2.1). Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose. Panjang seratnya antara 1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro. Bagase mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Serat bagase tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin (Husin, 2007). Menurut Husin (2007) hasil analisis serat bagas seperti Tabel 2.1. (http://bioindustri.blogspot.com) berikut:


Tabel 2.1. Komposisi kimia ampas tebu

No

Kandungan

Kadar (%)

Abu

3,82

Lignin

22,09

Selulosa

37,65

Sari

1,81

Pentosan

27,97

SiO2

3,01

  1. Pemanfaatan Ampas Tebu Dalam Industri

Ampas tebu juga mengandung polisakarida yang dapat dikonversi menjadi produk atau senyawa kimia untuk mendukung proses produksi sektor industri lainnya. Salah satu polisakarida yang ada dalam ampas tebu ialah pentosan, dengan persentase sebesar 20-27%. Kandungan pentosan yang cukup tinggi tersebut memungkinkan ampas tebu untuk diolah menjadi Furfural. Furfural memiliki aplikasi cukup luas dalam beberapa industri dan dapat disintesis menjadi turunan-turunannya seperti : Furfuril Alkohol, Furan, dan lain-lain. Kebutuhan Furfural dan turunannya dalam negeri terus meningkat. Saat ini seluruh kebutuhan Furfural dalam negeri diperoleh melalui impor. Impor terbesar diperoleh dari Cina yang saat ini menguasai 72% pasar Furfural dunia.

Furfural (C5H4O2) sering disebut dengan 2-furankarboksaldehid; furaldehid; furanaldehid; 2-Furfuraldehid; merupakan senyawa organik turunan dari golongan furan. Senyawa ini berfasa cair, berwarna kuning hingga kecoklatan, titik didih 161,70C, densitas (200C) sebesar 1,16 g/cm3. Furfural merupakan senyawa yang kurang larut dalam air, namun larut dalam alkohol, eter, dan benzena. Furfural memiliki aplikasi yang cukup luas terutama untuk mensintesis senyawa-senyawa turunannya. Di dunia hanya 13% saja yang langsung menggunakan Furfural sebagai aplikasi, selebihnya disintesis menjadi produk turunannya. Furfural dihasilkan dari biomassa (ampas tebu) lewat 2 tahap reaksi, yaitu hidrolisis dan dehidrasi. Untuk itu digunakan bantuan katalis asam, misalnya: asam sulfat, dan lain-lain.

Furfuril alkohol biasa disebut juga 2-furanmetanol atau 2-furilkarbinol, memiliki rumus molekul 2-C4H3O.CH2OH. Furfuril Alkohol ialah senyawa yang paling banyak digunakan sebagai turunan dari Furfural. Furfuril Alkohol diproduksi dalam skala industri dengan cara hidrogenasi Furfural pada fase cair maupun fase uap pada tekanan rendah. Katalis berbasis tembaga lebih dipakai karena lebih selektif dan tidak mempengaruhi hidrogenasi dari cincin. Furfuril Alkohol paling banyak digunakan sebagai monomer dalam pembuatan serat Furfuril Alkohol juga dimanfaatkan sebagai pelarut aktif dalam berbagai serat sintetik dan sebagai bahan baku untuk pembuatan senyawa turunan dari Furfuril Alkohol. Salah satu senyawa turunan yang dihasilkan dari Furfuril Alkohol ialah Tetrahidrofurfuril Alkohol (2-tetrahidrofuranmetanol), yang diproduksi dengan cara hidrogenasi katalitik Furfuril Alkohol pada fasa uap. Tetrahidrofurfuril Alkohol dipakai sebagai pelarut, pembersih, dan pewarna yang diaplikasikan dalam industri cat, pelapisan (coating), pembersih, dan farmasi.

Furan merupakan contoh lain senyawa yang dihasilkan dengan bahan baku Furfural. Furan yang biasa disebut juga Furfuran atau oxole, memiliki rumus molekul C4H4O. Furan diproduksi melalui proses dekarbonilasi Furfural dengan kehadiran katalis logam mulia. Furan dimanfaatkan sebagai bahan kimia pembangun dalam produksi senyawa kimia yang digunakan pada industri farmasi, herbisida, senyawa penstabil (stabilizer) dan bahan baku pembuatan senyawa turunan dari furan. Salah satu senyawa yang diproduksi dengan bahan baku Furan melalui hidrogenasi katalitik ialah Tetrahidrofuran (tetrametilen oksida atau oxolane). Senyawa ini digunakan sebagai pelarut untuk polivinil klorida (PVC), polivinilidene klorida, beberapa serat poliuretan yang diaplikasikan pada proses pelapisan dan perekat (http://teknik-kimia2003.blogspot.com).

B. Tinjauan Umum Hewan Ruminansia

  1. Pencernaan Hewan Ruminansia

Hewan ternak seperti sapi, kambing, kerbau dan kuda merupakan hewan ruminansia (memamah biak). Perut sapi, kambing, kerbau, kuda, bukanlah tabung ajaib yang begitu saja dapat merubah rumput yang ditelannya menjadi daging. Rumput perlu dicacah menjadi potongan-potongan yang jauh lebih kecil lagi sebelum memasuki sejumlah tahap pencernaan berikutnya yang sangat rumit.

Pola sistem pencernaan pada hewan ruminansia umumnya sama dengan manusia, yaitu terdiri atas mulut, faring, esofagus, lambung, dan usus. Pencernaan pertama ini berlangsung pada rongga mulut, dengan bantuan gigi dan lidah (secara mekanik) dan air liur (secara kimiawi). Hewan memamah biak tidak mempunyai gigi seri bagian atas dan gigi taring, tetapi memiliki gigi geraham lebih banyak dibandingkan dengan manusia. Hal ini sesuai dengan fungsinya untuk mengunyah makanan berserat, yaitu penyusun dinding sel tumbuhan yang terdiri atas 50% selulosa. Gigi geraham berfungsi untuk mengunyah, memotong, mencacah dan menghancurkan makanan, lidah membantu dalam hal pengadukan, dan air liur berperan sebagai cairan pelicin. Air liur juga menyediakan cairan untuk proses pencernaan di lambung, terutama rumen. Air liur ini kaya akan zat bikarbonat yang berfungsi menjaga derajat keasaman pada lambung.

Umumnya, sapi dewasa dapat menghasilkan 100-150 liter air liur setiap hari. Makanan yang dikunyah di mulut kemudian melewati kerongkongan, dan diteruskan ke perut (lambung). Lambung ruminansia sangat besar, diperkirakan sekitar 3/4 dari isi rongga perut. Lambung mempunyai peranan penting untuk menyimpan makanan sementara yang akan dimuntahkan dan dimamah kembali di mulut. Selain itu, pada lambung juga terjadi proses pembusukan dan fermentasi.

Lambung hewan ruminansia (gambar 2.3.) terdiri atas 4 bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum dengan ukuran yang bervariasi sesuai dengan umur dan makanan alamiahnya. Kapasitas rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7-8%, dan abomasum 7-8%. Rumen merupakan yang terbesar. Daya tampung rumen 100-300 liter (pada sapi) dan 4-10 liter (pada kambing) (http://www.free.vlsm.org).

Tumbuhan dan rumput yang dimakan sapi mengandung selulosa dalam jumlah besar. Selulosa ialah pembentuk dinding sel tumbuhan, dan merupakan zat karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh hewan ruminansia. Selulosa harus dihancurkan dan diuraikan menjadi molekul-molekul kecil dan sederhana agar dapat diserap oleh dinding saluran pencernaan hewan ruminansia.

  1. Mekanisme Pencernaan

Setelah dikunyah di mulut, makanan akan masuk kerongkongan dan menuju rumen (sebagai gudang sementara bagi makanan yang tertelan). Di rumen terjadi pencernaan protein, polisakarida, dan penguraian selulosa. Penguraian selulosa dibantu oleh beragam jenis mikroba dalam rumen yang menghasilkan enzim selulase. Satu mililiter saja dari seluruh isi rumen ini mengandung sekitar 1-100 miliar sel mikroba. Mikroba rumen dibagi dalam tiga kelompok utama yaitu bakteri, protozoa danfungi (Czerkawski, 1986). Jumlah dan ragam mikroba ini harus seimbang agar penguraian selulosa dapat berjalan dengan baik. Jumlah mikroba semakin lama semakin banyak karena mereka berkembang biak dengan membelah diri. Tetapi, sebagian sel-sel mikroba ini juga mati, teruraikan, dan akhirnya diserap oleh dinding saluran pencernaan hewan ruminansia.

Penguraian selulosa akan menghasilkan glukosa yang diimanfaatkan oleh mikroba untuk menghasilkan energi, juga senyawa-senyawa sederhana yang dimanfaatkan oleh hewan ruminansia. Penguraian selulosa ini terjadi dalam keadaan bebas oksigen (anaerob). Inilah yang disebut fermentasi. Zat yang dihasilkan pada proses ini diantaranya ialah asam lemak berantai pendek dan mudah menguap (seperti asam asetat, asam propionat, dan asam butirat), yang merupakan sumber energi bagi hewan ruminansia. Fermentasi ini juga menghasilkan asam laktat, gas karbon dioksida, dan gas metana (CH4) yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif.

Makanan dari rumen akan diteruskan ke retikulum dan di tempat ini makanan akan dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar (disebut bolus). Bolus akan dimuntahkan kembali ke mulut untuk dimamah kedua kali. Makanan kemudian akan ditelan kembali untuk diteruskan ke omasum. Di omasum terdapat kelenjar yang memproduksi enzim yang akan bercampur dengan bolus. Akhirnya bolus akan diteruskan ke abomasum, yaitu perut yang sebenarnya dan di tempat ini masih terjadi proses pencernaan bolus secara kimiawi oleh enzim menghasilkan bubur (kim). Kim akan masuk ke usus halus untuk diserap sebagai sari-sari makanan. Sisa pencernaan yang tidak diserap akan masuk ke usus besar dan dikeluarkan melalui anus dalam bentuk feses. Bakteri dalam rumen kemungkinan akan keluar dari tubuh hewan ruminansia bersama feses, sehingga di dalam feses (tinja) hewan ini mengandung bahan organik yang diuraikan dan dapat melepaskan gas CH4 (http://al-firqotunnajiyyah.blogspot.com/2008/08/suaka-marga-ikroba.html).

Serangkaian proses canggih diatas ialah kehendak Allah SWT sebagaimana seruan Allah: “Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu makan.” (QS. Al Mu’minuun, 23:21).

  1. Mikroba Dalam Rumen Ruminansia

Bakteri rumen diklasifikasikan berdasarkan substrat utama yang digunakan, karena sulit mengklasifikasikan berdasarkan morfologinya. Beberapa jenis bakteri yang dilaporkan oleh Hungate (1966) ialah : (a) bakteri pencerna selulosa (Bakteroidessuccinogenes, Ruminococcus flavafaciens, Ruminococcus albus, Butyrifibriofibrisolvens), (b) bakteri pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens, Bakteroides ruminocola, Ruminococcus sp), (c) bakteri pencerna pati (Bakteroides ammylophilus, Streptococcus bovis, Succinnimonas amylolytica), (d) bakteri pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminus), (e) bakteri pencerna protein (Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis). Sedangkan protozoa diklasifikasikan berdasarkan morfologinya karena mudah dilihat berdasarkan penyebaran silianya diantaranya Holotrichs yang mempunyai silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang fermentabel, sedangkan Oligotrichs yang mempunyai silia di sekitar mulut umumnya merombak karbohidrat yang lebih sulit dicerna (Arora, 1989).

Kelompok fungi seperti Trichoderma resei, T. viridae, Chaetomium, Fusarium, Aspergilus niger, Penicilium, Rhizoctonia dan Verticillium aktif menguraikan bahan organik selulosa (Knapp, 1985). Fungi ini membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rizoid fungi tumbuh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen. Fungi Penicilium Chrysosporium dan Coriolus versicolor dalam reaksi oksidasi dan reaksi hydrolitik mendegradasi lignin menjadi rantai alifatik. Enzim yang diperlukan dalam penguraian lignin ialah mono dan di-oxygenase. Sedangkan hemiselulosa akan diuraikan menjadi gugus gula.

C. Tinjauan Umum Sampah Organik

  1. Distribusi Sampah di Indonesia

Sampah kota-kota besar di Indonesia rata-rata mengandung 79.5% bahan organik, 4.1% kertas, plastik 3.7%, kaca 2.3%, logam 2.7%, kayu 2.79%, kain 1.1%, karet 0.8% lain-lain 2.9% dari survei Dinas Penyehatan Lingkungan Tahun 1994. Menurut Furedy (1994) sampah dari kota-kota di Asia mengandung 60–90% bahan organik dan debu (http://www.alumni. ugm.ac.id).

Soewedo (1983) menyatakan bahwa sampah ialah bagian dari sesuatu yang tidak dipakai atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan manusia (termasuk kegiatan industri). Secara umum, jenis sampah dapat dibagi menjadi 2 yaitu sampah organik (sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering).

Sampah organik yaitu sampah yang mudah membusuk dan mudah diuraikan secara alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun. Sampah Anorganik, yaitu sampah yang tidak mudah membusuk dan sangat sulit terurai secara alami, seperti plastik wadah pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol dan gelas minuman, kaleng, kayu, dan sebagainya (http://www.dephut.go.id).

  1. Potensi Sampah Organik Sebagai Sumber Energi

Salah satu cara penanggulangan sampah organik yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia ialah dengan menerapkan teknologi anerobik untuk menghasilkan biogas. Secara ilmiah, biogas yang dihasilkan dari sampah organik ialah gas yang mudah terbakar (flammable). Gas ini dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi tanpa udara).

Umumnya, semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas. Tetapi hanya bahan organik homogen, baik padat maupun cair yang cocok untuk sistem biogas sederhana. Bila sampah-sampah organik tersebut membusuk, akan dihasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Tapi, hanya CH4 yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Umumnya kandungan metana dalam reaktor sampah organik berbeda-beda. Penelitiannya Zhang et al. 1997, dapat menghasilkan metana sebesar 50-80% dan karbondioksida 20-50%. Sedangkan penelitian Hansen (2001), dalam reaktor biogasnya dihasilkan sekitar 60-70% metana, 30-40% karbon dioksida, amonia, hidrogen sulfida, merkaptan (tio alkohol) dan gas lainnya (http://www.chem-is-try.org/).

  1. Mekanisme Pembentukan Biogas

Sampah organik sayur-sayuran dan buah-buahan seperti layaknya kotoran ternak ialah substrat terbaik untuk menghasilkan biogas (Hammad et al, 1999). Proses pembentukan biogas melalui pencernaan anaerobik merupakan proses bertahap, dengan tiga tahap utama, yakni hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis.

Tahap pertama ialah hidrolisis, dimana pada tahap ini bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein didegradasi oleh mikroorganisme hidrolitik menjadi senyawa terlarut seperti alkohol, gula sederhana, asam-asam amino, H2 dan CO2. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap asidogenesis senyawa terlarut tersebut diubah menjadi asam-asam lemak rantai pendek oleh mikroorganisme asidogenik. Tahap terakhir ialah metanogenesis, dimana pada tahap ini asam-asam lemak rantai pendek diubah menjadi H2, CO2, dan asetat. Asetat akan mengalami dekarboksilasi dan reduksi CO2, kemudian bersama-sama dengan H2 dan CO2 menghasilkan produk akhir, yaitu metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) (http://www.chem-is-try.org).

Efisiensi produksi biogas dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: suhu, derajat keasaman (pH), konsentrasi asam-asam lemak volatil, nutrisi (terutama nisbah karbon dan nitrogen), zat racun, waktu retensi hidrolik, kecepatan bahan organik, dan konsentrasi amonia. Beberapa kondisi optimum proses produksi biogas sebagai berikut (Paket 2.2.):


Tabel 2.2. Kondisi Optimum Produksi Biogas

No

Parameter

Kondisi Optimum

1

Suhu

35oC

2

Derajat Keasaman

7 - 7,2

3

Nutrien Utama

20/1 sampai 30/1

4

Nisbah Karbon dan Nitrogen Sulfida

<>

5

Logam-logam Berat Terlarut

<>

6

Sodium

<>

7

Kalsium

<>

8

Magnesium

<>

9

Amonia

<>

Parameter-parameter ini harus dikontrol dengan cermat agar proses pencernaan anaerobik dapat berlangsung secara optimal. Derajat keasaman (pH) harus dijaga pada kondisi optimum yaitu antara 7 - 7,2, karena jika pH turun akan menyebabkan pengubahan substrat menjadi biogas terhambat sehingga mengakibatkan penurunan kuantitas biogas. Nilai pH yang terlalu tinggi juga harus dihindari, karena akan menyebabkan produk akhir yang dihasilkan ialah CO2 sebagai produk utama. Jika rasio C/N tidak dikontrol dengan cermat, maka terdapat kemungkinan adanya nitrogen berlebih (terutama dalam bentuk amonia) yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri.

Biogas yang bebas pengotor (H2O, H2S, CO2, dan partikulat lainnya) dan telah mencapai kualitas pipeline ialah setara dengan gas alam. Gas tersebut dapat digunakan sama seperti gas alam. Pemanfaatannya biogas telah layak sebagai bahan baku pembangkit listrik, pemanas ruangan, dan pemanas air. Jika dikompresi, biogas dapat menggantikan gas alam terkompresi yang digunakan pada kendaraan (http://www.chem-is-try.org).

Di Indonesia nilai potensial pemanfaatan biogas ini akan terus meningkat karena adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang menjanjikan. Berdasarkan sumber Departemen Pertanian, nilai kesetaraan biogas dengan sumber energi lain ialah sebagai berikut (Tabel 2.3.):


Tabel 2.3. Kesetaraan biogas dengan sumber energi lain

No

Bahan Bakar

Jumlah

1

Biogas

1 m3

2

Elpiji

0,46 kg

3

Minyak tanah

0,62 liter

4

Minyak solar

0,52 liter

5

Bensin

0,80 liter

6

Gas kota

1,50 m3

7

Kayu bakar

3,50 kg

D. Tinjauan Umum Fermentasi

Arti fermentasi pada bidang biokimia dihubungkan dengan pembangkitan energi oleh katabolisme senyawa organik. Sedangkan pada bidang mikrobiologi industri, fermentasi mempunyai arti yang lebih luas, yang menggambarkan setiap proses untuk menghasilkan produk dari pembiakan mikroorganisme.

Fermentasi ialah proses perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Semua mikroorganisme membutuhkan sumber energi untuk hidup yang diperoleh dari metabolisme bahan pangan. Bahan baku energi yang paling banyak digunakan oleh mikroorganisme ialah glukosa. Produk akhir proses ini antara lain; sejumlah besar asam laktat, asam asetat, dan etanol, serta sejumlah kecil asam organik volatil lainnya; alkohol dan ester. (http://ardansirodjuddin.wordpress. com).




BAB III

METODE PENULISAN

A. Waktu dan Tempat Penulisan

Penelitian kepustakaan (libary reseach) ini dimulai sejak 01 Februari 2009, di perpustakaan Pusat Universitas Negeri Surabaya, perpustakaan Fakultas Ilmu Keolahragaan, perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, dan perpustakaan Jurusan Biologi Universitas Negeri Surabaya.

B. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini ialah teknik deskriptif yaitu mendeskripsikan proses fermentasi selulosa oleh mikroba rumen reminansia pada ampas tebu (sugar cane bagasse) sebagai sumber energi listrik alternatif masa depan.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini ialah telaah literatur yaitu dengan mempelajari berbagai literatur seperti buku-buku dan sumber-sumber dari internet. Telaah literatur tersebut diharapkan mampu mendukung ide kreatif yang penulis munculkan dalam karya tulis ini.

D. Teknik Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan menelaah data yang diperoleh dari studi literatur, menggabungkan teori dan pendapat di dalam buku atau literatur lainnya dan menyederhanakan data tersebut dalam bentuk yang mudah dibaca, dipahami, dan dipresentasikan, sebagai upaya mencari jawaban atas permasalahan yang diteliti.

E. Kerangka Berfikir




BAB IV

ANALISIS DAN SINTESIS

A. Kandungan Ampas Tebu (Sugar Cane Bagasse) yang Berpotensi Sebagai Sumber Energi.

Ampas tebu mengandung beberapa zat yang berpotensi sebagai penghasil sumber energi alternatif yaitu serat selulosa dengan persentase sebesar 37,65%, lignin sebesar 22,09% dan pentosan sebesar 27,97% (menurut Husin, 2007).

Selulosa dan lignin merupakan karbohidrat (polimer) yang menyusun dinding sel tebu. Selulosa akan diuraikan oleh bakteri dengan bantuan enzim selulose menjadi bentuk yang sederhana yaitu glukosa (monomer). Lignin akan diuraikan oleh bakteri dengan bantuan enzim mono-oxygenase dan di-oxygenase menjadi bentuk yang sederhana yaitu glukosa (monomer).

Pentosan merupakan salah satu jenis polisakarida yang dapat diolah menjadi sumber energi berupa Furfural (C5H4O2) atau sering disebut dengan 2-furankarboksaldehid, furaldehid, furanaldehid, 2-Furfuraldehid. Furfural merupakan senyawa organik turunan dari golongan Furan. Senyawa ini berfasa cair, berwarna kuning hingga kecoklatan, dengan titik didih 161,7oC, densitas 1,16 g/cm3 pada suhu 200C. Furfural merupakan senyawa yang kurang larut dalam air namun larut dalam alkohol, eter, dan benzena. Furfural dapat diolah menjadi turunan-turunanya seperti Furfuril alcohol dan Furan (http://teknik-kimia2003.blogspot.com)

B. Jenis Mikroba yang Terdapat Dalam Rumen Ruminansia yang Dapat Dimanfaatkan Dalam Pembuatan Sumber Energi Alternatif.

Macam bakteri yang ditemukan dalam rumen ruminansia menurut Hungate (1966) diantaranya ialah (a) bakteri pencerna selulosa (Bakteroidessuccinogenes, Ruminococcus flavafaciens, Ruminococcus albus, Butyrifibriofibrisolvens), (b) bakteri pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens, Bakteroides ruminocola, Ruminococcus sp), (c) bakteri pencerna pati (Bakteroides ammylophilus, Streptococcus bovis, Succinnimonas amylolytica), (d) bakteri pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminus), (e) bakteri pencerna protein (Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis).

Sedangkan macam protozoa yang ditemukan dalam rumen ruminansia menurut (Arora, 1989) diantaranya ialah Holotrichs yang mempunyai silia hampir diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang fermentabel, sedangkan Oligotrichs yang mempunyai silia di sekitar mulut umumnya merombak karbohidrat yang lebih sulit dicerna.

Kelompok fungi yang ditemukan dalam rumen ruminansia menurut Knapp, 1985 diantaranya ialah Trichoderma resei, T. viridae, Chaetomium, Fusarium, Aspergilus niger, Penicilium, Rhizoctonia dan Verticillium aktif menguraikan bahan organik selulosa.

C. Mekanisme Mikroba Rumen Ruminansia dan Ampas Tebu sebagai Sumber Energi Alternatif.

Proses pembentukan biogas dibantu oleh bakteri, protozoa dan fungi dalam rumen ruminansia. Ampas tebu dimasukkan ke dalam rumen ruminansia atau dimasukkan ke dalam reaktor yang diberi mikroba yang sudah diisolasi dari rumen ruminansia. Selanjutnya, akan terjadi serangkaian reaksi kimia untuk menguraikan selulosa, lignin dan pentosan.

Peran fungi dalam rumen ruminansia ialah membentuk koloni pada jaringan selulosa ampas tebu. Selanjutnya, rizoid fungi akan tumbuh menembus dinding sel tanaman sehingga lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen. Fungi Penicilium Chrysosporium dan Coriolus versicolor dalam reaksi oksidasi dan reaksi hydrolitik mendegradasi lignin pada ampas tebu menjadi rantai alifatik. Secara umum pengolahan biogas dari ampas tebu melalui tiga tahap utama yaitu hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis.

1. Pengolahan Selulosa dan Lignin:

Tahap Hidrolisis:

Tahap pertama ialah hidrolisis, dimana pada tahap ini bahan-bahan organik seperti karbohidrat (selulosa dan lignin) didegradasi oleh mikroorganisme hidrolitik menjadi senyawa terlarut seperti gula sederhana, asam-asam amino, H2 dan CO2.

Reaksi kimia:

Selulosa glukosa + glukosa

Lignin glukosa + glukosa

Tahap Asidogenis:

(Glikolisis)

Tahap kedua yaitu tahap asidogenesis, dimana senyawa terlarut tersebut akan diubah menjadi asam-asam lemak rantai pendek, seperti asam piruvat oleh mikroorganisme asidogenik (Campbell, 2004).

Reaksi kimia:

Glukosa

ATP→ P + ADP

Glukosa 6 Fosfat

Fruktosa 6 Fosfat

ATP→ P + ADP

Fruktosa 1,6 bifosfat

Tahap selanjutnya, Fruktosa 1,6 bifosfat akan di uraikan untuk menghasilkan asam piruvat sebagai bahan dasar fermentasi (anaerob). Fruktosa 1,6 bifosfat

liseraldehid 3 Fosfat Dihidroksiaseton Fosfat

2NAD + 2P→ 2 NADH

(Dua) 1,3 Bifosfogliserat

2ADP + P→ 2ATP

(Dua) 3 Fosfogliserat

(Dua) 2 Fosfogliserat

2H2O

(Dua) Fosfogliserat

2ADP + P→ 2ATP

(Dua) Asam Piruvat

Tahap Metanogenesis:

(Fermentasi : anaerob)

Tahap ketiga ialah metanogenesis, dimana pada tahap ini asam-asam lemak rantai pendek diubah menjadi H2, CO2, dan asetat (Campbell, 2004).

Reaksi kimia:

NADH + H+ NAD+

asam Piruvat Asam asetat + CO2

Asam asetat dehidrogenase

Asetat akan mengalami dekarboksilasi dan reduksi CO2, kemudian bersama-sama dengan H2 dan CO2 menghasilkan produk akhir, yaitu metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Metana yang dihasilkan ini merupakan biogas yang berpotensi sebagai sumber energi.

2. Pengolahan Pentosan:

Pentosan (polisakarida) diolah menjadi Furfural (C5H4O2). Furfural diolah dari ampas tebu melalui 2 tahap reaksi yaitu hidrolisis dan dehidrasi. Dalam pembuatannya digunakan bantuan katalis asam seperti asam sulfat. Pembuatan Furfural dapat berlangsung dalam siklus batch maupun kontinyu. Melalui proses Batch; ampas tebu dimasukkan ke dalam 1 reaktor, pada kondisi atmosferik 128-1500C dan dilakukan pemurnian melalui distilasi azetropik. Sedangkan dalam proses kontinyu, ampas tebu dimasukkan ke dalam 2 reaktor, pada tekanan ±68 atm dan suhu tinggi, serta dilakukan pemurnian melalui ekstraksi dan distilasi.

Proses pengolahan Furfural juga menghasilkan produk samping. Jenis hasil samping tersebut dapat berupa glukosa, asam asetat, atau panas. Glukosa dan asam asetat yang dihasilkan dari hasil samping ini juga dapat diproses kembali melalui tahap hidrolisis, tahap asidogenis dan tahap metanogenesis untuk menghasilkan metana (CH4) sebagai sumber energi alternatif masa depan (http://teknik-kimia2003.blogspot.com).

Efektivitas biogas hasil pengolahan mikroba rumen ruminansia dan ampas tebu (sugar cane bagasse) ini belum diteliti lebih lanjut. Tetapi diperkirakan biogas yang dihasilkan dari sampah organik dengan kandungan serat selulosa dan lignin yang tinggi, akan memiliki kandungan metana yang tinggi pula. Sebagaimana hasil Penelitiannya Zhang et al. 1997, menunjukkan bahwa sampah organik dengan kandungan selulosa tinggi dapat menghasilkan metana sebesar 50-80% dan karbondioksida 20-50%. Sedangkan penelitian Hansen (2001), dalam reaktor biogasnya dihasilkan sekitar 60-70% metana, 30-40% karbon dioksida, amonia, hidrogen sulfida, merkaptan (tio alkohol) dan gas-gas lainnya (http://www.chem-is-try.org).




BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan analisi dan sintesis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

  1. Kandungan ampas tebu (sugar cane bagasse) yang berpotensi sebagai sumber energi ialah serat selulosa, lignin dan pentosan.
  2. Jenis mikroba yang terdapat dalam rumen ruminansia yang dapat dimanfaatkan dalam pembuatan sumber energi alternatif diantaranya; bakteri (bakteri pencerna selulosa, bakteri pencerna hemiselulosa, bakteri pencerna pati, bakteri pencerna gula dan bakteri pencerna protein), protozoa (Holotrichs dan Oligotrichs) dan fungi (Trichoderma resei, T. viridae, Chaetomium, Fusarium, Aspergilus niger, Penicilium, Rhizoctonia dan Verticillium).
  3. Mekanisme mikroba rumen ruminansia dan ampas tebu untuk menghasilkan sumber energi alternatif ialah menguraikan selulosa dan lignin dengan tiga tahap (hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis), sedangkan pentosan diolah menjadi Furfural dan turunannya (Furfuril alkohol dan Furan).

B. Saran

Saran yang penulis ajukan dalam penyusunan karya tulis ini ialah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitas biogas yang dihasilkan dari penguraian ampas tebu oleh mikroba rumen ruminansia.

2.

24

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi mikroba dari rumen ruminansia dan membuat reaktor berskala industri untuk mengolah sampah organik dari ampas tebu dengan mikroba rumen ruminansia tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. b. Komposisi Ampas Tebu, (online), (http://teknik_kimia.blogspot. com/2007-07-01-archive.html, diakses tanggal 5 Februari 2009).

Campbell, Neil A. et al. 2004. Biologi Edisi 5. Rahayu Lestari, Ellyzar I. M. Adil, Nova Anita, penerjemah. Jakarta: Erlangga.

Furedy C. 1994. Decentralized composting : An emergencing technique of solid waste management. ASEP Newsleter 10(1): 1-12.

Husin, 2007.Analisis Serat Bagas, (online), (http://www.free.vlsm.org/, diakses tanggal 6 Februari 2009).

Rismani, Yazdi.2008.Penelitian di Ohio State University, (online), (http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod, diakses tanggal 6 Februari 2009).

Sastrowijoyo.1998.Klasifikasi Tebu, (online), (http://arluki.wordpress.com/2008 /10/14/tebu-sugarcane/, diakses tanggal 8 Februari 2009).

,2009. Daerah Tumbuh Tebu, (online), (http://ciciarendy.multiply.com/ journal/item/6/ Tebu, diakses tanggal 8 Februari 2009).

,2009. Rumen Hewan Ruminansia, (online), (http://www.free.vlsm.org/, diakses tanggal 10 Februari 2009).

,2009. Mikroba Ruminansia, (online), (http://al-firqotunnajiyyah. blogspot.com/2008/08/suaka-marga-ikroba.html, diakses tanggal 10 Februari 2009).

,2009. Macam Mikroba Dalam Rumen Ruminansia, (online), (http://irenzobeckham.wordpress.com/2006/11/15/mikroba-dalam-rumen-sapi/, diakses tanggal 10 Februari 2009).

,2009. Penguraian Selulosa dan Lignin oleh Mikroba Rumen Ruminansia, (online), (http://www.alumni.ugm.ac.id/, diakses tanggal 12 Februari 2009).

,2009. Jenis Sampah, (online), (http://www.dephut.go.id/, diakses tanggal 12 Februari 2009).

Hansen. 2001. Penelitian Biogas Dari Sampah Organik, (online), (http://www.chem-is-try.org/, diakses tanggal 12Februari 2009).

Hammad et al, 1999. Sampah Organik Penghasil Biogas, (online), (http://www.chem-is-try.org/, diakses tanggal 12Februari 2009).

,2009. Fermentasi_Anaerob, (online), (http://ardansirodjuddin. wordpress. com, diakses tanggal 14 Februari 2009).

,2009. Biogas, (online), (http://teknik-kimia2003.blogspot.com/, diakses tanggal 14 Februari 2009).