Selasa, 10 Juni 2008

SEMINAR NOTONAGORO

Rangkuman Sessi I
Kontektualisasi dan Implementasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara:

Bidang Filsafat, Ideologi, Sosial Budaya, dan Pendidikan

Pembicara:
Dr Kaelan
Prof Dr. M. Sastrapratedja
Prof Dr. Sofyan Effendi

Moderator:

Drs. Joko Pitoyo

Kondisi paradoks pada berbagai aras kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat derasnya globalisasi, telah menjadikan kurangnya wacana tentang Pancasila baik pada aras politik, budaya dan akademis. Dr. Kaelan melihat bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh adanya kekacauan epistemologis dalam pemahaman tentang Pancasila. Tawaran yang diajukan untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah dengan mengembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pengembangan Pancasila sebagai kerangka dasar pengembangan dasar epistemis ilmu; Pancasila sebagai landasan etis bagi pengembangan ilmu; Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan pendidikan yang berkepribadian Indonesia; dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dalam realisasi normative dan praksis kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah system nilai semakin dapat dielaborasi lebih jauh.

Dr. M Sastrapratedja dalam perspektif budaya, berpegang pada “visi ke depan” yang dikemukakan oleh Prof Notonagoro, dan kerangka pemahaman cultural Pierre Bourdieu, memandang bahwa untuk mengkontektualisasi dan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dibutuhkan suatu “mediasi”, dan melaluinya Pancasila dapat menjadi “habitus” bangsa Indonesia. Pancasila diharapkan menjadi perantara antara budaya objektif dan budaya subjektif. Dalam konteks Indonesia masa kini dan masa depan, pengembangan institusionalisasi nilai-nilai Pancasila meski mempertimbangkan perspektif multikulturalisme, unsur-unsur dan proses konstruksi identitas nasional, yang semuanya harus bermuara pada tujuan untuk semakin memanusiakan masyarakat Indonesia. Habitus yang diharapkan terbangun adalah sikap dasar yang mampu menghargai dan lebih toteran pada perbedaan cultural dan religius, menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, mengembangkan budaya demokratis, dan menciptakan keadilan social. Dalam konteks inilah sebuah “visi ke depan” menjadi penting.

Terkait dengan proses institusionalisasi nilai-nilai Pancasila yang bervisi ke depan, Dr Sofyan Effendi memandang bahwa Pendidikan Tinggi memiliki peran dan fungsi yang strategis. Dengan berpijak pada identitas UGM sebagai universitas perjuangan yang secara histories mengemban pengembangan kajian-kajian tentang Pancasila, Sofyan Effendi memaparkan pentingnya dilakukan penyesuaian-penyesuaian structural dan mekanisme kelembagaan universitas, menyangkut kurikulum dan system administrasi akademik, yang memberi jaminan bagi tersedianya ruang kelembagaan bagi aktualisasi identitas, jati diri, dan nilai-nilai Pancasila. Dan dengan demikian, UGM sebagai institusi yang culture conserving, culture creating, dan civilizing institution akan semakin memberi dukungan pada kemampuan analisis lintas disipliner dan bahkan “non disipliner”. Dengan demikian tugas UGM sebagai universitas perjuangan mendapat peneguhan atas visi dan dasar moralnya untuk menghadapi tantangan jaman ke depan, yang di samping dituntut untuk membangun body of knowledge IPTEKS yang berparadigma Pancasila dan Filsafat Pancasila, juga dituntut untuk melahirkan putra-putri bangsa yang menguasai IPTEKS dan mampu menerjemahkan nilai-nilai universal ke dalam budaya bangsa sendiri.

Rangkuman Sessi II
Kontektualisasi dan Implementasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara:

Bidang Hukum, Politik, Pemerintahan, Pertahanan Keamanan dan Ekonomi

Pembicara:
Prof. Dr. Muladi, S.H.
Dr. Bambang Kesowo, S.H.
Prof Dr. Edy Suandi Hamid

Moderator:
Drs. Agus Wahyudi, M.Si., M.A.

Ideologi sangat penting, agar individu atau kolektivitas tersebut selalu konsisten dalam langkah dan pemikirannya serta tidak kehilangan arah. Ideologi yang tidak bertumpu pada nilai-nilai universal yang dapat menjamin kehidupan yang bermartabat (freedom to live in dignity) justru akan manimbulkan penderitaan kepada umat manusia.

Menurut Prof. Dr. Muladi S.H., dalam kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dalam Bidang Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Pancasila dapat dijadikan sebagai margin of appreciation akan mengandung fungsi-fungsi sebagai: the line at which supervision should give way to State’s discretion in enacting or enforcing its law; striking(menemukan) a balance between a right quaranteed and a permitted derogation (or limitation); Move principle of justification than interpretation; Preventing unneccesarry restriction ; To avoid damaging dispute; A Uniform Standard of Protection ; Gives flexibility needed to avoid damaging confrontantions.

Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation di bidang hukum akan mewarnai segala sub sistem di bidang hukum, baik substansi hukum yang bernuansa “law making process”; struktur hukum yang banyak bersentuhan dengan “law enforcement” maupun budaya hukum yang berkaitan dengan “law awareness”. Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation yang mengendalikan kontekstualisasi dan implementasinya telah terjadi:

(1) Pada saat dimantabkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada saat 4 kali proses amandemen; (2) Pada saat merumuskan HAM dalam hukum positif Indonesia;
(3) Pada saat proses internal di mana The Founding Fathers menentukan urutan Pancasila.

Dr. Bambang Kesowo, S.H. berpandangan bahwa Pancasila yang hanya dipandang sebagai alat pemersatu dalam era pasca kemerdekaan, yang karena kondisi obyektif bangsa masih berlanjut seperti tujuan penumbuhan paham kebangsaan tadi, pada gilirannya memang kurang menguntungkan, dan secara kurang proporsional telah meredusir peran dan fungsinya sebagai dasar negara. Sekarang diperlukan semacam konsensus politik yang baru dan jelas di tataran nasional untuk bersama-sama menata kembali dasar dan tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan ini. Sasarannya adalah mempertegas kembali kedudukan, peran dan fungsi Pancasila sebagai ideologi negara beserta semua wawasan nasional yang merupakan jabarannya. Apapun cara, forum dan bentuknya, pada akhirnya perlu ada produk yang secara hukum memiliki kekuatan mengikat seluruh komponen bangsa.

Dalam mengkontekstualisasi dan mengimplementasi Pancasila dalam Bidang Ekonomi oleh Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, berpendapat bahwa Pancasila harus dapat ditafsir/interpretasi dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang ekonomi! Ini terus dikembangkan dengan prinsip dasar yg tetap namun terbuka untuk interpretasi yang kontekstual sejalan berkembangnya peradaban.

Pilar Sistem Ekonomi Pancasila meliputi:

(1) ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar),
(2) nasionalisme ekonomi & demokrasi ekonomi (cara/metode operasionalisasi), dan
(3) ekonomi berkeadilan sosial (tujuan). Kontekstualisasi dan implementasi Pancasila dalam bidang ekonomi cukup dikaitkan dengan pilar-pilar di atas dan juga dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dipecahkan oleh sistem ekonomi apapun. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
(a) Barang dan jasa apa yang akan dihasilkan dan berapa jumlahnya;
(b) Bagaimana pola atau cara memproduksi barang dan jasa itu, dan;
(c) Untuk siapa barang tersebut dihasilkan, dan bagaimana mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.

Mengapa nilai-nilai Pancasila yang jelas-jelas tidak menanamkan nafsu keserakahan, anti-ketidakdilan dan anti-kesenjangan tidak diimplementasikan oleh mereka-mereka yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan tersebut? Bagaimana Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa, termasuk sebagai filsafat ekonomi, mampu menjawab persoalan-persaoalan ekonomi demikian? Jawabnya: Pengalaman masa lalu yang berupa penyalahgunaan Pancasila oleh vested interest group; Rendahnya upaya dan kemamuan untuk menafsirkan Pancasila dalam bidang ekonomi yang lebih banyak berkiblat ke kapitalisme; Tidak ada keteladanan; Kebijakan pemerintah sendiri menyimpangi Pancasila; Social punishment & law enforcement yang rendah.

Langkah yang perlu dilakukan adalah perlu digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran agar ilmu ekonomi ini dikembangkan ke arah ekonomi yg humanistik, bukan sebaliknya mengajarkan keserakahan & mendorong persaingan yang saling mematikan utk memuaskan kepentingan sendiri . Ini dilakukan guna mengimbangi ajaran yg mengedepankan kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai manusia ekonomi (homo ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk sosial (homo socius) dan mahluk beretika (homo ethicus). (Adm)


*) Perangkum Sessi I : Drs. Sindung Tjahyadi, M.Hum., dosen bagian filsafat timur Fakultas FIlsafat UGM.
Perangkum Sessi II : Heri Santoso, S.S., M.Hum., dosen bagian filsafat barat Fakultas Filsafat UGM.

Update terakhir ( Selasa, 07 Februari 2006 )

diposting oleh " IMAM WAHYUDIN "